Blog

Industrialisasi

Rabu, 30 Maret 2011 - - 0 Comments


 Konsep dan Tujuan Industrialisasi

Awal konsep industrialisasi  Revolusi industri abad 18 di Inggris  Penemuan metode baru dlm pemintalan dan penemuan kapas yg menciptakan spesialisasi produksi dan peningkatan produktivitas factor produksi.

Selanjutnya penemuan baru pengolahan besi & mesin uap shg mendorong inovasi  Baja, kereta dan kappa tenaga uap.

Setelah PD II muncul teknolgi baru  Asembly line, listrik, motor, barang sintetis, telekomunikasi, elektronik, bio, computer & robot
Perubahan Pola dan Volume Perdagangan Dunia dan Proses Industrialisasi di dunia

Industrialisasi :: suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi.

Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa Negara dengan penduduk sedikit & kekayaan alam meilmpah seperti Kuwait & libya ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi.


 Faktor-faktor Pendorong Industrialisasi

a) Kemampuan teknologi dan inovasi
b) Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c) Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Negara yang awalnya memiliki industri dasar/primer/hulu seperti baja, semen, kimia, dan industri tengah seperti mesin alat produksi akan mengalami proses industrialisasi lebih cepat
d) Besar pangsa pasar DN yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Indonesia dengan 200 juta orang menyebabkan pertumbuhan kegiatan ekonomi
e) Ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi, jenis industri unggulan dan insentif yang diberikan.
f) Keberadaan SDA. Negara dengan SDA yang besar cenderung lebih lambat dalam industrialisasi
g) Kebijakan/strategi pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri orientasi ekspor.


 Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Nasional

Industri diklasifikasikan:
a) Industri primer/hulu yaitu mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap selanjutnya
b) Industri sekunder/manufaktur yang mencakup: industri pembuat modal (mesin), barang setengah jadi dan alat produksi, dan industri hilir yang memproduksi produk konsumsi

A. Pertumbuhan output.
Pertumbuhan output yang tinggi disebabkan oleh permintaan eksternal yang tinggi. Pertumbuhan PDB 3 sektor penting di LDCs : Sumber Utama Pertumbuhan PDB menurut Tiga Sektor di Negara Berkembang 1970 -1995 (%)
 Laju pertumbuhan output rata rata pertahun untuk sektor manufaktur (22,9 %) lebih tinggi dari pertanian (13,9%) periode 1970 – 1995.
 Kontribusi thd pertumbuhan PDB 1970 – 1980 (21,3 %) & 1990 – 1995 (32,1%)
 Pertmbuhan output sektor manufaktur karena permintaan eksternal ekspor tinggi

Sumber Utama Pertumbuhan PDB menurut Tiga Sektor di Negara Asia Timur & Tenggara 1970 -1995 (%)
 Laju pertumbuhan PDB wilayah ini rata rata pertahun 7,4% periode 1970 – 1995 lebih tinggi dari pertumbuhan PDB dunia 2,9 % dan laju pertumbuhan PDB negara berkembang 4,6 %

Tingkat perkembangan industri manufaktur dapat dilihat dari pendalaman struktur industri itu sendiri. Struktur industri:
1. Ragam produk  barang konsumsi, sederhana, barang konsumsi dg kandungan
teknologi yanglebih canggih, barang modal,
2. Intensitas pemakain faktor produksi barang dengan padat karya dan barang
dengan padat modal
3. Orinetasi pasar  barang domestik & barang ekspor


B. Pendalaman Struktur Industri.
Pembangunan ekonomi jangka panjang dapat merubah pusat kekuatan ekonomi dari pertanian menuju industri dan menggeser struktur industri yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

Perubahan struktur industri disebabkan oleh

a) Penawaran aggregat perkembangan teknolgi, kualitas SDM, inovasi material baru untuk produksi
b) Permintaan aggregat peningkatan pendapatan perkapita yang mengubah volume & pola konsumsi

Distribusi PDB Per Sektor pada Harga Konstan 1983 -1998
 Sejak th 1983 -1990 Sektor primer turun, sedangkan sector sekunder & tersier
meningkat
 Dekade 1980, Pangsa PDB sector primer lebih tinggi dari industri manufaktur
 1990 Pangsa PDB sector manufakturlebih tinggi dari sektor premier
 Lju pertumbuhan sektor primer lebih lambat dari sektor sekunder dan tersier

Pertumbuhan PDB pada Harga Konstan 1995 -1998
 Tahun 1995 Pertumbuhan PDB 4,38 % dan th 1998 menurun sampai menjadi 0,22% sebagai akibat krisis
 Listrik Gas & Air mampu bertahan thd krisis
 Pertanian tetap tumbuh karena ekspor mengalami pertumbuhan positif sebagai
akibat dari kurs rupah yang jatuh, shg harga produk murah

Berdasarkan analisis tingkat pendalaman struktur industri:

 Orientasi perkembangan industri manuafktur di Indonesia masih pada barang
konsumsi sederhana seperti makanan, minuman pakaian jadi sampail bambu,
rotan & kayu
 Sisi permintaan aggergat, pasar domestik barang konsumsi berkembang pesat
seiring laju penduduk & peningkatan pendapatan masyarakat per kapita
 Sisi penawaran aggregat, Sarana dan prasarana menunjang untuk produksi
barang konsumsi tersebut dibandingkan barang modal
 Aspek teknolgi, kandungan teknologi barang konsumsi lebih rendah


C. Tingkat Teknologi produk manufaktur.
Teknologi yang digunakan dalam industri manufaktur mencakup:
a) Tekonolgi tinggi mencakup: komputer, obat-obatan, produk elektronik, alat komunikasi dan sebagainya
b) Teknologi sedang mencakup: plastik, karet, produk logam sederhana, penyulingan minyak, produk mineral bukan logam
c) Teknolgi rendah mencakup: kertas, percetakan, tekstil, pakaian jadi, minuman, rokok, dan mebel


D. Ekspor
Kinerja ekspor dapat digunakan untuk mengukur hasil pembangunan industry manufaktur.


E. Ketergantungan Impor
Ketergantungan terhadap impor juga merupakan indicator keberhasilan pembangunan sector industry.

 Permasalahan Industrialisasi

Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang dibandingkan di DCs, hal ini karena :

1. Keterbatasan teknologi
2. Kualitas Sumber daya Manusia
3. Keterbatasan dana pemerintah (selalu difisit) dan sektor swasta
4. Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan & penelitian
masih rendah

Masalah dalam industri manufaktur nasional:
1. Kelemahan struktural

 Basis ekspor & pasar masih sempit walaupun Indonesia mempunyai banyak sumber daya alam & TK, tapi produk & pasarnya masih terkonsentrasi:
a. terbatas pada empat produk (kayu lapis, pakaian jadi, tekstil & alas kaki)
b. Pasar tekstil & pakaian jadi terbatas pada beberapa negara: USA, Kanada,
Turki & Norwegia
c. USA, Jepang & Singapura mengimpor 50% dari total ekspor tekstil &
pakaian jadi dari Indonesia
d. Produk penyumbang 80% dari ekspor manufaktur indonesia masih mudah
terpengaruh oleh perubahan permintaan produk di pasar terbatas
e. Banyak produk manufaktur terpilih padat karya mengalami penurunan
harga muncul pesaing baru seperti cina & vietman
f. Produk manufaktur tradisional menurun daya saingnya sbg akibat factor
internal seperti tuntutan kenaikan upah

 Ketergantungan impor sangat tinggi
1990, Indonesia menarik banyak PMA untuk industri berteknologi tinggi seperti kimia, elektronik, otomotif, dsb, tapi masih proses penggabungan, pengepakan dan assembling dengan hasil:

a. Nilai impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi diatas
45%
b. Industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi & kulit bergantung kepada
impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi.
c. PMA sector manufaktur masih bergantung kepada suplai bahan baku &
komponen dari LN
d. Peralihan teknologi (teknikal, manajemen, pemasaran, pengembangan
organisasi dan keterkaitan eksternal) dari PMA masih terbatas
e. Pengembangan produk dengan merek sendiri dan pembangunan jaringan
pemasaran masih terbatas

 Tidak ada industri berteknologi menengah
a. Kontribusi industri berteknologi menengah (logam, karet, plastik, semen)
thd pembangunan sektor industri manufaktur menurun tahun 1985 -1997.
b. Kontribusi produk padat modal (material dari plastik, karet, pupuk, kertas,
besi & baja) thd ekspor menurun 1985 – 997
c. Produksi produk dg teknologi rendah berkembang pesat.

 Konsentrasi regional
Ndustri mnengah & besar terkonsentrasi di Jawa.

2. Kelemahan organisasi

 Industri kecil & menengah masih terbelakangproduktivtas rendah Jumlah Tk masih banyak (padat Karya)
 Konsentrasi Pasar
 Kapasitas menyerap & mengembangkan teknologi masih lemah
 SDm yang lemah






 Strategi Pembangunan Sektor Industri

Startegi pelaksanaan industrialisasi:

1. Strategi substitusi impor (Inward Looking).
Bertujuan mengembangkan industri berorientasi domestic yang dapat
menggantikan produk impor. Negara yang menggunakan strategi ini adalah Korea
& Taiwan

Pertimbangan menggunakan strategi ini:
 Sumber daya alam & Faktor produksi cukuo tersedia
 Potensi permintaan dalam negeri memadai
 Sebagai pendorong perkembangan industri manufaktur dalam negeri
 Kesempatan kerja menjadi luas
 Pengurangan ketergantungan impor, shg defisit berkurang

2. Strategi promosi ekspor (outward Looking)
Beorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri
dalam negeri yang memiliki keunggulan bersaing.

Rekomendasi agar strategi ini dapat berhasil :

 Pasar harus menciptakan sinyal harga yang benar yang merefleksikan kelangkaan barang ybs baik pasar input maupun output
 Tingkat proteksi impor harus rendah
 Nilai tukar harus realistis
 Ada insentif untuk peningkatan ekspor



SUMBER DATA ::

kuswanto.staff.gunadarma .ac.id/.../7-INDUSTRIALISASI+DAN+P ERKEMBA NGAN.doc

SEKTOR PERTANIAN

- - 0 Comments

Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, danstatistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.

Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.


Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya.

Ketiga, walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen.


Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003 dalam Irawan, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor nonpertanian pada periode krisis ekonomi yang parah tersebut pertumbuhannya adalah negatif (Irawan, 2004, dalam Irawan, 2006).

Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple track strategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan.


Peran Dalam Ekonomi

Indonesia disebut negara agraris atau pertanian karena peran pertanian masih dominan
dalam hal:
 PDB (Produk Domestik Bruto)
 Penyerapan tenaga kerja
 Nilai ekspor.
Sesudah melewati 5 kali Pelita (25 tahun) diharapkan Indonesia menjadi negara industri, tetapi akibat krisis ekonomi Juni 1997, harapan tersebut jadi buyar. Bahkan sektor pertanian sebagai salah satu penyelamat dalam perekonomian di Indonesia.

Dari ke empat sektor produksi yaitu Pertanian, Perindustrian, Pertambangan dan Perdagangan (jasa), yang jumlahnya 100% pada setiap tahun, maka peran sektor pertanian dalam PDB pada tahun 1939 adalah 61%, sedangkan peran atau kontribusi ke tiga sektor lainnya hanya 39%. Dapat dilihat bahwa peran sektor pertanian dalam PDB makin lama makin menurun. Pada tahun 1975 hanya 32% dan pada tahun 1990 tinggal 19,6% .

Peran sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja juga makin menurun dari tahun ke tahun, tetapi tidak secepat menurunnya seperti peran dalam PDB. Pada Tahun 1939 peran pertanian dalam penyerapan tenaga kerja adalah 73,9% dan pada tahun 1990 masih ada sebesar 53,4%.

Peran sektor pertanian dalam ekspor sama halnya dengan perannya dalam PDB. Dalam ekspor pada tahun 1928 mencapai 79%, namun peran ini cepat menurun setelah masa kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1974 peran pertanian dalam ekspor adalah 23%. Perhatikan, bahwa di tahun 1986 peran pertanian dalam PDB hanya 25% dan dalam tenaga kerja masih tinggi yakni 55%. Jumlah kue yang dibagi sudah sedikit, yang ikut membagi masih banyak, karena itu timbullah kemiskinan rakyat di sektor pertanian. Pada saat itu ada nilai ekspor pertanian sekian persen, tetapi ini tidak akan dinikmati oleh rakyat di sektor pertanian. Ini berdampak timbulnya gap yang besar antar sektor ekonomi. Pada era sebelum kemerdekaan peran sektor pertanian dalam PDB, tenaga kerja dan nilai ekspor adalah masih berimbang. Sebagai contohnya pada tahun 1939 kontribusi pertanian adalah sebagai berikut:
• Sumbangan dalam PDB = 61%.
• Penyerapan tenaga kerja = 74%.
• Nilai ekspor hasil pertanian = 79%.

Pada era Orde Baru, power sektor pertanian Republik Indonesia sudah lemah misalnya pada tahun 1985 kontribusi pertanian dapat digambarkan sebagai berikut:
• Sumbangan dalam PDB = 24%.
• Penyerapan tenaga kerja = 55%.
• Nilai ekspor hasil pertanian = 23%.


Penyebab utama merosotnya kontribusi sektor pertanian karena policy dari pemerintah terlalu tergila-gila ke sektor manufacturing, bukan ke agroindustri. Pabrik kapal terbang dan manufacturing lainnya memakai investasi yang sangat tinggi, bukan mendorong kemajuan pertanian, bahkan hasil dari pertanianlah dikorbankan kesana.

Menurunnya peran atau kontribusi sektor pertanian dalam PDB atau dalam nilai ekspor bukan berarti jumlah PDB sektor pertanian atau jumlah nilai ekspor pertanian menurun.

Peran sektor pertanian dari tahun 1980 ke tahun 1990 turun (25% - 20%) = 5%, pada hal jumlah PDB sektor Pertanian naik dari Rp.100 juta pada tahun 1980 menjadi Rp.200 juta pada tahun 1990 (naik 100%).

PDB yang disumbangkan oleh subsektor tanaman per-kebunan rakyat jauh lebih besar daripada PDB tanaman perkebunan besar. Pada setiap tahun PDB dari tanaman perkenunan rakyat tiga kali lipat lebih besar daripada PDB tanaman perkebunan besar. Hal ini selalu terdapat kekeliruan pada masyarakat/mahasiswa, bahwa persepsi mereka hasil tanaman perkebunan besar lebih hebat daripada hasil tanaman perkebunan besar.

Sekali lagi dapat dilihat bahwa peran Perkebunan Rakyat di Indonesia tiga kali lipat lebih besar daripada peran Perkebunan Besar pada periode tahun 1990-1992. Peran sektor pertanian dalam PDB makin lama makin menurun, pada tahun 1990 perannya masih sebesar 21,86%, tetapi pada tahun 2004 tinggal 15,38%.

Menurunnya peran sektor pertanian dalam PDB bukan berarti nilai PDB sektor pertanian juga turun. Atas dasar harga berlaku, jumlah PDB sektor pertanian pada tahun 1990 adalah Rp.50.032 milyar, pada tahun 2004 adalah Rp.354.435 milyar. Menurunnya peran sektor pertanian disebabkan begitu naiknya PDB sektor-sektor lain, terutama sektor industri dan sektor perdagangan/jasa.



SUMBER DATA ::

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=3&ved=0CCEQFjAC&url=http%3A%2F%2Focw.usu.ac.id%2Fcourse%2Fdownload%2F312-EKONOMI-PERTANIAN%2Fsep_203_handout_peran_pertanian_di_indonesia.pdf&rct=j&q=peranan%20sektor%20pertanian%20di%20indonesia&ei=0JpwTa6BIpCYvAOUouC9AQ&usg=AFQjCNGXCCVxRc3wIMzYOnAPiRZBWOSFqg&cad=rja

http://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian

http://www.google.co.id/#q=Investasi+di+Sektor+Pertanian&hl=id&biw=1360&bih=598&prmd=ivns&ei=vl50TcbaOY_AsAPl-oi3Cw&start=30&sa=N&fp=fcdc6984d180bbf2

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH

- - 0 Comments

1. Pembangunan Ekonomi Regional

Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.


Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan

Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.


Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .


2. Faktor-faktor penyebab ketimpangan

Ada 2 faktor penyebab ketimpangan pembangunan, faktor pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (growth).
Sebagian ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat alamiah (natural) atau bahkan ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat structural. Ketidaksetaraan itu berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam pembangunan menjadi tidak seimbang.
Ditumpukkannya strategi pembangunan pada aspek petumbuhan, bukanlah tidak beralasan. Secara akademik, baru pertumbuhanlah yang telah memiliki teori-teori yang mantap dalam konsep pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau rancangan pebangunan lebih menyandarkan rencana pembangunannya pada aspek pertumbuhan.

3. Pembangunan Indonesia Bagian Timur

Pembangunan di Indonesia Bagian Timur lebih tertinggal dibandingkan daerah Indonesia bagian lain. Mungkin penyebabnya tanah yang lebih tidak subur dan masalah transportasi. Aku lihat sih daerah yang agak tandus, jalannya lebih cepat rusak, entah karena keadaan tanahnya atau karena suhu udaranya yang lebih panas. Sehingga perjalanan memerlukan waktu tempuh yang lebih lama dan medan yang berat. Aku sering main daerah dekat waduk/bendungan. Daerah yang sulit dijangkau karena jalannya rusak atau jauh, lebih mudah terjangkau dengan adanya transportasi air.


Keuntungannya:
- Proyek yang menarik dan mudah dijual karena akan mendapatkan hasil langsung berupa pohon/hasil hutan sepanjang yang akan dibuat jalan. Akan mendapatkan bahan galian yang bisa berupa bahan tambang yang bernilai tinggi (bisanya daerah tandus kaya akan bahan tambang bernilai tinggi dan batuan mulia/permata)dan atau bahan mineral.
- Peluang bisnis transportasi manusia dan barang (kalau tidak salah transportasi via air termasuk transportasi yang paling murah untuk angkutan barang).
- Bendungan bisa juga dibuat pembangkit listrik tenaga air.
- Bisa menjadi Objek wisata
- Di bendungan bisa dibuat budi daya ikan jaring terapung, sedangkan di jalan air bisa di buat budi daya ikan di keramba.
- Untuk saluran irigasi.
- Meningkatkan kesuburan tanah(biasanya daerah dekat aliran air, tanahnya menjadi lebih subur).
- Bisa juga dirancang untuk mengatasi banjir.
- Bisa juga dirancang untuk mengatasi kebakaran hutan (minimal melokalisasi kebakaran hutan yang terpotong jalan air).
- Transportasi manusia dan barang lebih mudah, murah dan lancar otomatis meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah itu dan antar pulau.
- Akan berkembang aktivitas-aktivitas ekonomi penunjang lainnya yang meningkatkan penghasilan dan menyerap lapangan pekerjaan.
- Mempermudah aparat keamanan untuk menjaga daerah-daerah yang sulit dijangkau lewat darat.

Hal-hal yang harus diperhatikan:

- Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas jalan air
- Debit banjir bila air meluap
- Pemeliharaan jalan air
- Masalah keselamatan pengguna jalan air.


4. Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah

Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1. Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2. Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3. Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset yang memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.


5. Otonomi Daerah

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.


SUMBER DATA ::

http://jammyjack.blogspot.com/2011/03/bab-5-pembangunan-ekonomi-daerah-dan.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah

http://www.forumbebas.com/thread-139249.html

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN

- - 0 Comments

Masalah.

1. Permasalahan Pokok.

Masalah pokok Negara berkembang Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan atau tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan















Kebijakan dan perencanaan pembangunan Orde Baru adalah pembangunan dipusatkan di Jawa (khususnya diJakarta) dengan harapan akan terjadi “Trickle Down Effect” dengan orientasi pada pertumbuhan yang tinggi.


2. Strategi Pembangunan.

Pada awal pemerintah orde baru percaya bahwa proses pembangunan ekonomi akan menghasilkan Trikle down effect Hasil pembangunan akan menetes ke sector-sektor lain dan wialayah Indonesia lainnya.

Fokus pembangunan ekonomi pemerintah Mencapai laju pertumbuhan ekonomi yg tinggi dalam waktu yang singkat melalui pembangunan pada:

a. Wilayah yang memiliki fasilitas yang relative lengkap (pelabuhan, telekomunikasi, kereta api, kompleks industri, dll) yakni di P. Jawa khsususnya Jawa Barat.
b. Sektor-sektor tertentu yang memberikan nilai tambah yang tinggi.

3. Hasil strategi pembangunan Kurang efektif.

a. 1980 – 1990 Laju pertumbuhan ekonomi (PDB) tinggi
b. Kesenjangan semakin besar (jumlah orang miskin semakin banyak)

4. Perubahan strategi pembangunan

Berdasarkan hasil pembangunan tsb, mulai PELITA 3 pemerintah merubah tujuannya menjadi mencapai pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat.

Strategi a. Konsentrasi pembangunan diseluruh Indonesia
b. Pembangunan untuk seluruh sektor pengembangan sektor
pertanian melalui berbegai program seperti transmigrasi, industri
padat karya, industri rumah tangga

Konsep dan Difinisi.

Pengukuran Kemiskinan

a. Kemiskinan relatif
Konsep yg mengacu pada garis kemiskinan yakni ukuran kesenjangan dalam
distribusi pendapatan. Kemiskinan relatif proporsi dari tingkat pendapatan
rata-rata.

b. Kemiskinan absolute (ekstrim)  Konsep yg tidak mengacu pada garus kemiskinan yakni derajad kemiskinan dibawah dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.

Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan.

Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi.
Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.

Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.

Janti (1997) menyimpulkan  semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.

Hipotesis Kuznets ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.

Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.

Tingkat Kesenjangan









Periode
Tingkat Pendapatan Per Kapita

Hasil ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri)  Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.

Banyak studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
a. Sebagian besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
b. Hubungan positif pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan ada di DC’s
c. Kurva bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun sebelah kanan.

Deininger dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.

Anand dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.

Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data India:
 proxy dari pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per orang (1951=0)
 proxy tingkat kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).

Ranis, dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.

Hubungan Pertumbuhan dan Kemiskinan.


Hipotesis Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun.

Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
a) Pertumbuhan
b) Tingkat pendidikan
c) Struktur ekonomi

Wodon (1999) menjelaskan hubungan pertumbuhan output dengan kemiskinan diekspresikan dalam:

Log Gkt = α + βLog Wkt + αt + ∑kt

Dimana:
• Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
• Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t
• αt : Efek lokasi yang tetap
• ∑kt : Term kesalahan

Dalam persamaan tersebut, elastisitas ketidakmerataan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan merupakan komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.

• g : efek bruto (ketimpangan konstan)
• l : efek neto (efek dari perubahan ketimpangan)
• b : elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan
• d : elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan




maka,
Λ = γ + βδ
Elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan diperoleh dengan persamaan:


Log Pkt = w + Log Wkt + Log Gkt + wk + vkt
Dimana:

• Pkt : Kemiskinan diwilayah k pada periode t
• Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
• Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan)
diwilayah k pada periode t
• Wk : efek-efek yang tetap
• vkt :term kesalahan

Studi empiris di LDC’s menunjukkan ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Studi lain menunjukkan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan output (PDB) atau Pendapatan nasional baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu.

a) Ravallion dan Datt (1996) dengan data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output disektor-sektor primer khususnya pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan dengan sector sekunder.
b) Kakwani (2001) untuk data dari philipiana menunjukkan hasil yang sama dengan Ravallion dan Datt. Peningkatan output sektor pertanian 1% mengurangi jumlah kemiskinan 1% lebih sedikit. Peningkatan output sektor industri 1% mengurangi jumlah kemiskinan 0,25 saja.
c) Mellor (2000) menjelaskan ada tendensi partumbuhan ekonomi (terutama pertanian) mengurangi kemiskinan baik secara mangsung maupun tidak langsung.
d) Hasan dan Quibria (2002) menyatakan ada hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan
e) ADB (1997) untuk NIC’s Asia Tenggara (Taiwan, Korsel, dan Singapura) menunjukkan pertumbuhan output di sector industri manufaktur berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan
f) Dolar dan Kraay (2000) menunjukkan elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 1% (pertumbuhan rata-rata 1% meningkatkan pendapatan masyarakat miskin 1%).
g) Timmer (1997) menyimpulkan bahwa elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 8% artinya kurang dari proporsional keuntungan bagi kelompok miskin dari pertumbuhan ekonomi

Untuk mengukur pengaruh pertumbuhan sektoral terhadap tingkat kemiskinan digunakan:

Ln P= a + b1 Ln Y1 + b2 Ln Y2 + b3 Ln Y3 + u + R

Dimana:
P : Fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi dibawah pengeluaran minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (garis kemiskinan)
Y : Tingkat output per kapita untuk sector pertanian, inustri pengolahan, dan jasa
u dan R:term kesalahan

Ada korelasi yang negative antara tingkat pendapatan dan kemiskinan (semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita, semakin rendah tingkat kemiskinan). Nilai koefisien korelasi untuk 4 wilayah.

Asia Timur Amerika Latin Asia Selatan Afrika Sub-Sahara
INC -0,03
(-0,03) 0,26
(1,79) 0,31
(3,31) 0,17
(1,72)
LnY -1,60
(-9,36) -1,13
(-6,11) -0,82
(-10,12) -0,71
(-4,53)
Adj. R2 0,84 0,68 0,83 0,93
Observasi 70 107 67 48

Hasil penelitian per sector:

Asia Timur Amerika Latin Asia Selatan Afrika Sub-Sahara
INC 0,05
(0,6) 0,3
(2,32) 0,36
(3,95) 0,08
(0,78)
LnYpertanian 0,40
(0,66) -0,33
(-1,47) -1,17
(-4,29) -0,32
(-3,05)
LnYindustri -1,31
(-4,28) 0,28
(1,21) -0,03
(-0,2) -0,03
(-0,31)
LnYjasa 0,02
(0,08) -1,21
(-4,88) -0,22
(-1,3) -0,16
(-1,55)
Adj. R2 0,84 0,71 0,87 0,93
Observasi 70 107 67 48

Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan.

Cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan dengan:

1. Pendekatan Asiomatic mencakup:

a) The Generalied Entropy (GE)

GE( ) = (1/(α2-α)
n=jumlah individu/orang dalam sampel
yi=pendapatan individu (i=1,2,…n)
= (1/n) adalah ukuran rata-rata pendapatan
Nilai GE terletak 0 sampai ∞. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata dan GE bernilai 4 berarti kesenjangan yang sangat besar.
α = mengukur besarnya perbedaan antara pendapatan dari kelompok yang berbeda didalam distribusi tersebut dan mempunyai nilai riil

b) Ukuran Atkinson

A = 1 -

ϵ=parameter ketimpangan, 0<ϵ<1, semakin tinggi nilai ϵ, semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai α dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan c) Koefisien Gini Gini = (1/2n2- Nilai koefisien Gini dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti kemerataan sempurna dan nilai 1 berarti ketidakmerataan sempurna (satu orang/kelompok orang disuatu Negara menikmati semua pendapatan Negara). Ide dasar perhitngan koefisien Gini adalah Kurva Lorenz Kurva Lorenz menggambarkan distribusi komulatif pendapatan nasional diberbagai lapisan penduduk. Sumbu vertical  presentase komulatif pendapatan nasional & Sumbu horizontal  persentase komulatif penduduk.  a. Semakin dekat dg diagonal, 100 semakin merata pendapatan 80  b. Semakin jauh dg diagonal semakin tidak merata pendapatan 60 50 40 20 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Indeks/Rasio Gini merupakan koefisien yang berkisar 0 sampai 1, yang menjelaskan kadar ketimpangan distribusi pendapatan nasional.  Semakin kecil angka ini, semakin merata distribusi pendapatan  Semakin besar angka ini, semakin tidak merata distribusi pendapatan Angka Gini ini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz. Semakin kecil angka ini ditunjukkan kurva lorenz yang mendekati diagonal yang berarti kecil luas area dan sebaliknya. n G = 1 - ∑ ( X t+1 – Xi ) ( Yi + Y t+1) 1 n G = 1 - ∑ fi (Yi + Y t+1) 1 G = Rasio Gini fi = Proporsi Jumlah Rumah Tangga dalam kelas t Xi = Proporsi Jumlah Komulatif Rumah Tangga dalam kelas t Yi = Proporsi Jumlah Komulatif Pendapatan dalam kelas t 2. Kriteria Bank Dunia. Bank dunia mengklasifikasikan ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan:  40 % penduduk berpendapatan terendah Penduduk termiskin  40 % penduduk berpendapatan menengah  20 % penduduk berpendapatan tinggi KLASIFIKASI DISTRIBUSI PENDAPATAN Ketimpangan Parah 40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati < 12 % pendapatan nasional Ketimpangan Sedang 40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati 12 - 17 % pendapatan nasional Ketimpangan Lunak (Distribusi Merata) 40 % penduduk berpendapatan rendah menikmati > 17 % pendapatan nasional
Pertengahan tahun 1997 Pendapatan per kapita Indonesia $ US 1,000 dengan 10 % penduduk saja yang menikmati 90% pendapatan nasional dan 90 % penduduk yang menikmati 10% pendapatan nasional berarti pemerataan pendapatan pendapatan masih kurang.

Perbandingan Indonesia dengan Swiss











Indonesia Swiss
Rasio Angka Gini.
Tahun Kota Desa Nasional
1965 0,34 0,35 0,35
1970 0,33 0,34 0,35
1976 0,35 0,31 0,34
1978 0,38 0,34 0,40
1980 0,36 0,31 0,34
1981 0,33 0,29 0,33
1984 0,32 0,28 0,33
1986 0,32 0,27 0,33
1987 0,32 0,26 0,32
1990 0,34 0,25 0,32
1993 0,33 0,26 0,34
1994 0,34 0,26 0,34
1995 0,35 0,27 0,35
1996 0,35 0,27 0,36
1997 0,35 0,26 0,37

 Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahun PDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
 1971 – 1980 laju rata-rata pertahun PDB 6 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,4
 Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahunPDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
 1981 – 1990 laju rata-rata pertahun PDB 5,4 % dengan angka Gini rat-rata per per tahun 0,3





Foster (1984) memperkenalkan 3 indkator untuk mengukur kemiskinan:
a) The incidence of poverty (rasio H) yaitu % dari populasi yang hidup adlam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan
b) The depth of poverty yaitu menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan Poverty Gap Index / indeks jarak kemiskinan (IJK) yaitu mengestimasi jarak pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai proporsi dari garis tersebut.

Pa = (1/n) a untuk semua yi 1.
= perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke I keluarga miskin (yi) dalam bentuk % dari garis kemiskinan.
a= % eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor dan jika dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi, maka akan menghasilkan indeks Pa.

c) The severity of poverty/Distributionally Sensitive Index yaitu mengukur tingkat keparahan kemiskinan dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK) atau mengetahui intensitas kemiskinan.
Peneliti lain memasukkan 2 faktor lain yakni rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang miskin. Semakin rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, semakin besar gap pendapatan antar orang miskin sehingga kemiskinan bertambah besar. Dengan memasukkan 2 faktor tersebut, maka muncul Indeks Kemiskinan Sen:

S = H [I + (1-I)Gini]

I adalah jumlah rata-rata difisit pendapatan dari orang miskin sebagai % dari garis kemiskinan.
Koefisien Gini mengukur ketimpangan antar orang miskin.
Jika salah satu factor ini naik, maka kemiskinan meningkat.

Perubahan pola distribusi pendapatan dipedesaan disebabkan oleh:
a) Urbanisasi jaman ordebaru sangat pesat
b) Struktur pasar dan besar distorsi yang berbeda antara kota dan desa. Desa memiliki jumlah sektor, output per sektor, dan pendapatan perkapita lebih kecil daripada kota.
c) Dampak positif pembangunan nasional yang berbentuk: (a) berbagai kegiatan ekonomi di desa (perdagangan, industry dan jasa); (b) Produksitivitas dan pendapatan TK pertanian dan penggunaan teknologi pertanian meningkat; dan (c) pemanfaatan SDA yang lebih baik di desa.


Perubahan tingkat upah (W) di desa dan kota dalam rupiah per bulan.
Tahun Kota Desa Rasio D/K
1986 Rp 88.073 Rp 59.237 67
1990 115.835 66.395 57
1997 288,498 186.753 65


Bukti empiris hipotesis U terbalik di Indonesia tahun 1960an sampai 1990an.























Distribusi dari 1,2 milyar penduduk miskin di dunia yang hidup dengan pendapatan kurang dari US1 per hari tahun 1998.

Europe and central Asia 2%
Middle East and North Africa 0.50%
South Asia 43.50%
Latin America and The Caribbean 6.50%
East Asia and Pasific 23.20%
Africa -SubSaharan 24.30%




Sumber: World Bank

Perubahan tingkat kemiskinan dan GDP per kapita di Asia.

Negara Kemiskinan Perubahan Tahunan
Tahun % Tahun % Kemiskinan per kapita PDB Riil
Bangladesh 1992 58,8 1996 53,1 -2,5 3,1
Cina 1994 8,4 1996 6 -15,5 10,5
India 1992 40,9 1994 35 -7,5 3,3
Indonesia 1990 15,1 1996 15,7 0,6 6,2
Korsel 1994 16,4 1995 12,3 -25 7,3
Malaysia 1995 9,6 1997 6,8 -15,8 4,2
Pakistan 1993 22,4 1997 31 8,5 1,5
Philipina 1994 40,6 1997 36,8 -3,2 2,6
Taiwan 1996 0,5 1997 0,5 0 5,3
Thailand 1994 16,3 1996 11,4 -16,4 7,7
Vietnam 1996 19,2 1997 17,7 -8 7,4


Kebijakan Anti kemiskinan.

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan, kelembagaan dan penurunan kemiskinan disajikan dan gambar berikut ini.









Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dsb.

World bank (1990) peprangan melawan kemiskinan melalui:
a) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya
b) Pengembangan SDM
c) Membuat jaringan pengaman social bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik social atau wilayah yang terisolasi

World bank (2000) memberikan resep baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
a) Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat local.
b) Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makrodan jaringan pengaman yang lebih komprehensif
c) Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.

ADB (1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan:
a) Pertumbuhan berkelanjutan yang prokemiskinan
b) Pengembangan social yang mencakup: pengembangan SDM, modal social, perbaikan status perempuan, dan perlindungan social
c) Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan
d) Factor tambahan:
• Pembersihan polusi udara dan air kota-kota besar
• Reboisasi hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah

Strategi oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan:
a) Jangka pendek yaitu membangun sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan
b) Jangka menenga\h dan panjang mencakup:
• Pembangunan dan penguatan sector swasta
• Kerjasama regional
• Manajemen APBN dan administrasi
• Desentralisasi
• Pendidikan dan kesehatan
• Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
• Pembagian tanah pertanian yang merata

sumber :

kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/.../4-KEMISKINAN+DAN+KESENJANGAN.doc



PDB, Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi

- - 0 Comments

1. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi
Kesejahteraan masyarakat dari aspek eknomi dapat diukur dengan tingkat pendapatan nasional perkapita. Untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional, maka pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada awal pembagnunan ekonomi suatu Negara, umumnya perencanaan pembangunan eknomi berorientasi pada masalah pertumbuhan. Untuk Negara-negara seperti Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi ditambah kenyataan bahwa penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan juga besar, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dan lajunya harus jauh lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk agar peningkatan pendapatan masyarakat perkapita dapat tercapai.
Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan jumlah pekerja yang cepat dan merata. Pertumbuhan ekonomi juga harus disertai dengan program pembangunan sosial (ADB, 2004)

2. Pertumbuhan Ekonomi Selama Orde Baru Hingga Saat Ini
Selama tahun 1966 – 1997, pertumbuhan ekonomi relative tinggi dengan ukuran pendapatan nasional perkapita tahun 1968 sebesar US$ 60 dan akhir tahun 1980an sebesar US$ 500. Pertumbuhan ekonomi 7-8% selama tahun 1970an dan menurun 3 – 4% dalam tahun 198an. Perkonomian nasional bergantungan valas dari ekspor barang primer (minyak dan pertanian). Pemasukan valas ini bergantung pada:
a) Kondisi pasar internasional komoditi tersebut.
b) Harga komoditi tersebut
c) Pertumbuhan ekonomi dunia (Jepang, USA dan Eropa merupakan pasar utama Indonesia).

3. Faktor-faktor Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Didalam-kelompok-Negara-negara-sedang-berkembang-(NSB), banyaknegara yang juga tejadi transisi ekonomi yang pesat dalam tiga decade terakhir ini, walaupun pola dan prosesnya berbeda antara Negara. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan antara Negara dalam sejumlah factor internalseperti berikut.
a. Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri (basis ekonomi)
Suatu negara yang pada awal pembangunan ekonomi/industrialisasinya sudah memiliki industri-industri dasar.
b. Besarnya pasar dalam negeri
Besarnya pasar domestic ditentukan oleh kombinasi antara jumlah populasi dan tingkat pendapatan riil perkapita.
c. Pola distribusi pendapataan
Factor ini sangat mendukung factor pasar dan tingkat pendapatan rata-rata perkapita naik pesat.
d. Karakteristik dari industrialisasi
Pelaksanaan atau strategi pengembangan industry yang ditetapkan, jenis industry yang diunggulkan, pola pembangunan industry, dan insentif yang diberikan.
e. Keberadaan SDA
Negara yang kaya SDA mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah atau terlambat melakukan industrialisasi.
f. Kebijakan perdagangan luar negri
Negara yang menerapkan kebijakan ekonomi tertutup (inward looking), pola dan hasil industrialisasi berbeda dibandingkan di Negara-negara yang menerapkan kebijakan ekonomi terbuka (outward looking).

4. Perubahan Struktur Ekonomi
Perubahan struktur ekonomi, umum disebut transformasi stryktural, dapat didefisinikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling tekait satu dengan yang lainnya dalam komposisi AD, perdagangan luar negri (ekspor dan inpor), AS ( produksi dan menggunakan faktor-faktor produksi yang diperlukan mendukung proses pembanggunan ekonomi yang berkelanjutan) ( chenery, 1979).
Pembangunan ekonomi jangka panjang (PDB/PN) merubah struktur ekonomi dari pertanian menuju industry (sector non primer) terutama industry manufaktur dengan increasing return to scale.
Semakin cepat pertumbuhan ekonomi, semakin meningkat pendapatan perkapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi.
Perubahan struktur ekonomi/transformasi structural merupakan serangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam aggregate demand, perdagangan LN, dan aggregate supply untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Teori perubahan struktur ekonomi:
a. Teori Arthur Lewis (Teori migrasi)
Teori ini membahas pembangunan di pedesaan (perekonomian tradisional dengan pertanian sebagai sector utama) dan perkotaaan (perekonomian modern dengan industry sebagai sector utama).
Di pedesaan tingkat pertumbuhan penduduk sangat tinggi, shg kelebihan supply TK dan tingkat hidup yang subsistence, sehingga produk marjinalnya sama dengan nol dengan upah yang rendah. Produk marjinal =0 berarti fungsi produksi sector pertanian telah optimal.
Jika jumlah TK > dari titik optimal, maka produktivitas menurun dan upah menurun.
Dengan mengurangi jumlah TK yang terlalu banyak dibandingkan tanah dan capital tidak merubah jumlah outputnya.
Diperkotaan, sector industry kekurangan TK, sehingga produktivitas TK menjadi tinggi dan nilai produk marjinalnya positif yang menunjukkan fungsi produksinya belum mencapai titik optimal, sehingga upahnya juga tinggi.
Perbedaan upah ini menyebabkan migrasi/urbanisasi TK dari desa ke kota, sehingga upah TK meningkat dan akhirnya pendapatan Negara meningkat.
Pendapatan yang meningkat meningkatkan permintaan makanan (output meningkat) dan dalam jangka panjang pereonomian pedesaan tumbuh dan permintaan produk industry dan jasa meningkat yang menjadi motor utama pertumbuhan output dan diversifikasi produk non pertanian.
b. Teori Hollis Chenery (Teori transformasi structural/pattern of development)
Teori ini memfokuskan pada perubahan struktur ekonomi di LDCs yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional ke sector industry sebagai penggerak utama pertumbuhan. Penelitian Chenery menunjukkan peningkatan pendapatan perkapita merubah:
• pola konsumsi dari makanan dan kebutuhan pokok ke produk manufaktur dan jasa
• Akumulasi capital secara fisik dan SDM
• Perkambangan kota dan industry
• Penurunan laju pertumbuhan penduduk
• Ukuran keluarga yang kecil
• Sector ekonomi didominasi oleh sector non primer terutama industry
Chenery menyatakan bahwa proses transformasi structural dapat dipercepat jika pergeseran pola permintaan domestic kearah produk manufaktur dan diperkuat dengan ekspor.

Sumber :
1.
http://www.google.co.id/#q=Faktor-faktor+Penentu+Prospek+Pertumbuhan+Ekonomi+Indonesia&hl=id&biw=1360&bih=641&prmd=ivns&ei=tFt0Tb61LoS-sQOSheTMCw&start=30&sa=N&fp=fcdc6984d180bbf2
2. http://ekonomindo.blogspot.com/2009/04/pertumbuhan-dan-perubahan-struktur.html

SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASI

Kamis, 03 Maret 2011 - - 0 Comments

Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah dewa”). Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya berorientasi pada ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada biasanya hanya untuk segelintir orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih mendalam kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke masa yang akan datang, namun biasanya cenderung untuk mengatur hal-hal yang sedang dibutuhkan saat ini.

1. PEMERINTAHAN ORDE LAMA
- Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :

a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

- Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

- Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

2. PEMERINTAHAN ORDE BARU
Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah
sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

1. 3. PEMERINTAHAN TRANSISI
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.

2. 4. PEMERINTAHAN REFORMASI
Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

1. 5. PEMERINTAHAN GOTONG ROYONG


Kabinet Gotong Royong adalah kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2004.

kabinet gotong royong melakukan terobosan dimana masyarakat bergerak sendiri (gerakan dari bawah)
dimana masyakat mengenal ada suatu usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai
kesejahteraan bersama dan mereka melakukan gerakan grass-root secara sukarela.
Contoh kecilnya barangkali dalam hal dukungan dana bencana alam. MAsing-masing
dengan sukarela menyumbang agar penderita dapat tertolong.

Konsep ini bisa diubah menjadi konsep "corporate/profit seeking" dimana setiap
orang membayar uang premi secara rutin agar pihak yang menderita bisa ditolong
lewat uang premi yang terkumpul. Konsep ini sedang diupayakan Obama untuk
memperbaiki sistem kesehatan Amerika.

Tentu saja sistem-sistem ini bisa memiliki 'bug' atau kelemahan. Misalnya saja
dalam menyalurkan dana donasi bantuan bencana, siapa yang bisa dipercaya dan
kompeten untuk mengalokasikan dana bantuan tersebut. Dalam sistem asuransi pun,
prinsip gotong-royong ini juga punya masalah karena ternyata insentif profit
membuat perusahaan asuransi sering mangkir dan mencari-cari alasan teknis agar
mereka tidak usah membayarkannya.

Jadi konsep asal gotong-royong pun secara konseptual dasarnya adalah juga
dipraktikkan di luar negeri, walaupun detil-detil yang memotivasi masyarakat
untuk ikut serta bisa berbeda-beda. DI Indonesia kerekatan sosial adalah sumber
kekuatan gotong-royong, maka bila kita rasakan bahwa tetangga dan masing-masing
pekerja semakin mengarah ke masyarakat urban yang lebih individual, maka
kekuatan gotong-royong menjadi semakin lemah dan tidak bisa lagi diharapkan
untuk menjadi sumber peningkatan kesejahteraan umum. Tentang bagaimana perilaku
sosial masyarakat bisa direkatkan kembali, tentu bukan bidang ilmu ekonomi tapi
lebih merupakan bidang ilmu sosiologi.

2. 6. PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU

Kabinet Indonesia Bersatu adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan PresidenSusilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/03/ArticleHtmls/03_01_2011_014_003.shtml?Mode=0
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Indonesia_Bersatu

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Gotong_Royong
http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com/msg05724.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29

http://ekonomikro.blogspot.com/2010/09/kebijakan-ekonomi-pada-masa-orde-lama.html